Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
Entertainment

Musik rock pada era digital

48
×

Musik rock pada era digital

Share this article
Musik rock pada era digital
Example 468x60

Ibukota Indonesia – Perkembangan teknologi dari analog ke digital pada memproduksi musik, secara dengan segera turut mengubah bidang musik, teristimewa bagaimana musik itu dibuat kemudian dikonsumsi.

Pada era analog, musisi rock Indonesia pernah merasakan manisnya perdagangan album fisik, misalnya God Bless melalui album Semut Hitam pada 1988 dengan total transaksi jual beli sekira 400 ribu copy. Sedangkan pada era semi-digital Jamrud sanggup menembus 2 jt copy melalui album Ningrat pada 2000.

Example 300x600

Padi, Dewa, juga Cokelat adalah beberapa band yang dengan embel-embel rock rock alternatif atau pop-rock — yang pernah mencicipi manisnya era musik dari sisi kegiatan bisnis sebelum era digital benar-benar bergulir.

Era digital pada produksi musik ibarat "taman bermain" bagi musisi. Mereka dapat menciptakan efek suara, bereksperimen, serta tahapan rekaman berubah jadi lebih tinggi praktis.

Namun, diperkenalkan teknologi digital juga mengantarkan masalah. Padahal, sebelumnya kita sepakati bahwa teknologi digital begitu berguna pada serangkaian produksi.

Permasalahannya adalah ketika format musik digital MP3 begitu simpel diunduh, disebar, lalu dinikmati pada bentuk "bajakan".

"Manis banget, tapi zaman berubah. Masa kaset ke CD tak terlalu terasa. Tapi pada saat CD dihajar MP3, itu terasa banget. Bajakan pada mana-mana. Tapi, musik masih bertahan," kata pemain bas grup Cokelat Ronny Febry Nugroho untuk ANTARA.

Layanan bajakan tidak hal baru pada lapangan usaha musik lantaran telah sejak zaman kaset pita. Jadi, tidak alasan bagi musisi untuk habis akal walau tetap susah untuk dilawan.

 

Lokananta merupakan perusahaan rekaman musik pertama Indonesi yang mana dirintis Oetojo Soemowidjojo lalu Raden Ngabehi Soegoto Soerjodipoero pada 29 Oktober 1956 yang digunakan memproduksi kemudian duplikasi piringan hitam hingga cassette audio. (ANTARA FOTO/MOHAMMAD AYUDHA)

Penjualan album fisik pada awal 2000-an terus menurun. Bahkan pasca era itu, bukan ada album yang digunakan bisa saja menembus satu jt kopi hingga 2010. Jangan tanya bagaimana era sekarang, tembus 150 ribu copy sekadar telah mendapat peringkat platinum.

Tentu, hal itu adalah dekade yang digunakan penuh tantangan untuk pemusik. Lantas bagaimana merekan bertahan pada periode transisi teknologi kemudian usaha itu?

"Jangan dikarenakan pernah jual satu jt copy lalu sekarang cuma jual 150 ribu, terus jadi lemah lalu malas," kata Ronny. "Justru itu tantangannya. Bagaimana berkarya pada waktu teknologi terus bergerak. Ada digital, ada streaming, dan bagaimana potensi pada masa depan."

"Teruslah berkarya, dikarenakan karya terbaik akan terus dicari. Musik tak akan mati. Bisnis lain tidaklah meninggal dengan hadirnya digital, bukan?" kata dia.

Eet Sjahranie, gitaris Edane serta mantan personel God Bless, tidak ada punya resep khusus untuk bertahan di skena musik rock selama lebih banyak 30 tahun, selain semangat untuk terus berkarya.

"Kuncinya oleh sebab itu senang. Bukan tak butuh duit. Tapi kalau senang, ya tak kepikiran yang dimaksud lain. Berkarya sekadar terus," kata Eet.

Gitaris nyentrik penggemar band hard-rock Van Halen itu bukan mau ambil pusing perihal perubahan teknologi analog ke digital yang tersebut turut mengubah pola pendengar dari kaset ke streaming melalui ponsel.

"Digital itu memberikan hal yang digunakan praktis," katanya. "Tidak ada kesulitan dan juga memang sebenarnya harus bergabung zaman."

Selain pernah sukses bersatu God Bless, nama Eet juga pernah berkibar ketika Edane merilis album 170 Volts pada 2002 dengan hits "Kau Pikir Kau Lah Segalanya".

Dalam transisi pola rekaman, Eet mengakui Edane pun beradaptasi menuju era digital. "Kami sudah ada digital sejak 2004. Terakhir yang semi-digital pada 2001. Awalnya masih pakai pita, terus pindah ke digital," kata Eet.

 

Ludacris pada waktu menyiapkan album digital pada 2003. REUTERS/Jeff Christensen JC/SV

Streaming

Studi "Music in the Digital Age: Musicians and Fans Around the World 'Come Together' on the Net" dari State University Winston-Salem, North Carolina Amerika Serikat, menemuka ada tiga jenis pendengar musik.

Pertama adalah pendengar yang tersebut siap atau mencoba membeli karya. Kedua adalah yang tidaklah pernah membeli tapi menikmati musik melalui radio atau televisi. Dan, ketiga adalah penikmat musik bajakan.

Saat pemasaran CD mengecil dihantam mudahnya akses musik bajakan, teknologi terus berinovasi sampai kemunculan layanan streaming musik. Penikmat musik ilegal tak penting membajak musik dikarenakan cukup dengarkan melalui aplikasi mobile streaming. Sedangkan pendengar loyal tentu akan masih membeli album fisik.

Streaming musik juga membuka jendela bagi pendengar musik lainnya untuk mencoba mendengarkan musik-musik baru. Penggemar rock bisa mendengarkan musik jazz atau country tanpa harus membeli, sedangkan musisi tetap mendapatkan haknya dari pemutar digital itu.

Musisi Eddi Hidayatullah atau akrab disapa Eddi Brokoli memandang era musik rock sudah lebih tinggi terbuka juga lepas dari pakem-pakem rock terdahulu.

"Sekarang, rock semakin ramai. Jika gua punya anak pada era 2000-an, kemungkinan besar rak kasetnya berisi Metallica, Pantera, Antrax, Slayer, alias satu genre semua. Bisa juga Sex pistols, The Clash, Ramones, lalu kawan-kawannya," katanya.

"Tapi, anak rock sekarang bisa jadi cuma habis dengan Greenday pindah ke Coldplay, kemudian lain-lain. Mereka tak salah, memang sebenarnya era ini menciptakan referensi berubah menjadi banyak," kata vokalis grup musik Harapan Jaya itu.

"Sekarang, semua pendatang layak berubah menjadi music director karena referensi musiknya banyak."

Era musik streaming juga membuka mata penikmat musik untuk menyimak perkembangan terkini. Tanpa harus berburu kaset, cukup pijat layar ponsel.

"Saat gua menerbitkan Youtube, gua mau tahu the latest band rock. Ternyata, sejumlah yang mana gua belom tahu. Ternyata, ada band ini, musik rock sekarang seperti ini. Tapi, ada juga band rock yang lain, yang dimaksud berbeda," kata Ronny.

Bukan sekadar menimbulkan musik tambahan praktis, era streaming juga memberikan harapan terhadap para musikus untuk mendapatkan hak-haknya dari lagu-lagu yang digunakan diputar secara digital.

"Sejauh ini belum cek detail. Tapi, ada report dari record company kalau memang sebenarnya ada yang dimaksud masuk lalu digital itu ada efeknya," kata Eet.

Eet, Ronny kemudian Eddi memandang era musik streaming membuka prospek seluas-luasnya terhadap calon musikus untuk berkarya. Berkat kemudahan digital, musik mampu diproduksi pada rumah, didistribusikan lewat platform online, tanpa terikat label rekaman, biaya rendah, efisien, dan juga dapat menyentuh segmen pendengar secara spesifik.

Satu lagi, melalui platform digital berbasis web, musikus tidak ada cuma menyuguhkan lagu, melainkan informasi jadwal panggung, musik hingga jualan merchandise dalam satu paket.

"Kuncinya adalah karya. Terus berkarya, nanti ketemu jalannya," kata Ronny.

Artikel ini disadur dari Musik rock pada era digital

Example 300250
Example 120x600

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *